Minggu, 29 November 2009
Misteri lain dalam proses memasak
Jawab singkatnya adalah bahwa memasak membuat protein menjadi keras sedangkan karbohidrat menjadi lunak. Kita akan mengecualikan daging pada hal ini, karena keliatan atau keempukan sekerat daging bergantung pada struktur otot hewan bersangkutan (baca ikan : daging putih yang sejati), dari bagian mana daging itu diambil, dan bagaimana tepatnya cara memasak daging itu. Selama proses memasak, misalnya, daging dapat menjadi empuk dahulu namun belakangan menjadi liat. Tapi, telur dan kentang dapat diterangkan berdasarkan pengaruh panas yang berbeda terhadap protein dan terhadap karbohidrat.
Pertama, mari kita perhatikan sebutir telur. Telur memiliki komposisi yang agak istimewa sesuai dengan fungsi uniknya dalam kehidupan. Jika kita membuang kulit telur seekor ayam dan kemudian membuang air dari semua bahan yang ada di dalamnya, kerak kering yang tersisa terdiri atas separuh protein dan separuh lemak, hampir tanpa karbohidrat sama sekali. Kuning telur kering mengandung 70 persen lemak sedangkan putih telur kering mengandung 85 persen protein. Kita tahu bahwa panas tidak terlalu berpengaruh pada konsistensi lemak, makakita akan memusatkan perhatian pada protein dalam putih telur. Dan kita juga tahu bahwa kita tidak akan mengorek informasi apa pun tanpa mempelajari bagaimana kiprah molekul-molekulnya, betul?
Albumin dalam albumen-ini bukan main–main atau salah cetak; putih telur disebut albumen, sedangkan protein yang terkandung di dalamnya disebut albumin. Albumin adalah molekul-molekul panjang seperti benang yang cenderung bergelung seperti bola-bola benang rajut. Ketika dipanaskan, bola-bola tadi melepaskan gelungan mereka sebagian kemudian saling lengket dengan yang lain di sana-sini, membentuk jaringan tiga dimensi yang makin kental dan meluas (dalam bahasa ilmiah: molekul-molekul itu mangalami cross-linking).
Sekarang, ketika molekul-molekul sebuah zat berubah dari sekumpulan bola-bola yang bergerak bebas menjadi sebuah jaringan tiga dimensi yang saling lengket, zat itu kehilangan fluiditasnya. Warnanya pun berubah dari bening menjadi pekat (opaque), sehingga bahkan cahaya pun sulit menembusnya.
Albumen telur yang cair, ketika dipanaskan lebih dari kira-kira 65 derajat celcius, segera menggumpal menjadi gel yang kencang dan berwarna putih pekat. Makin panas dan makin lama memasaknya, makin banyak molekul yang melepas gelungan mereka dan saling ikat dengan yang lain. Maka makin lama memasak telur, makin kenyal dan makin pekat bagian putihnya. Pada pemanasan yang semakin tinggi (digoreng) albumen akan menjadi kering, keras, dan liat.
Protein dalam kuning telur juga menggumpal dengan cara yang hampir sama, tetapi setelah mencapai temperatur lebih tinggi. Selain itu lemaknya yang berlimpah berfungsi sebagai semacam pelumas di antara gum[palan-gumpalan protein sehingga albumin agak sulit bertaut dengan sesama mereka. Ini sebabnya kuning telur tidak seliat putih telur meskipun dimasak sampai matang sekali.
Sekarang, bagaimana dengan kentang dan bahan makanan lain yang banyak mengandung karbohidrat. Pati dan gula dapat dimasak dengan mudah. Unsur-unsur ini bahkan dapat larut dalam air panas sehingga mempercepat proses. Ketika memanggang kentang, sebagian patinya yang ikut terlarut menguap.
Bagaimanapun ada unsur karbohidrat yang sangat kokoh dan sangat tidak mudah larutyang terdapat pada semua buah-buahan dan sayuran: selulosa. Dinding sel tumbuhan terbuat dari serat-serat selulosa yang saling dipertautkan oleh pektin dan karbohidrat dapat larut lain yang berfungsi sebagai semen. Stuktur inilah yang menjadikan sayuran macam kubis, wortel, dan seledri, juga kentang, keras dan getas. Tapi coba masukkan semua tadi ke dalam air panas, mereka akan lemas dan lunak. Semen pektin segera larut dalam air panas, maka stuktur selulosa yang semula kaku menjadi sangat lemah. Akibatnya sayuran yang telah dimasak lebih lunak daripada sayuran yang masih mentah. Readmore »»
Ikan : Daging Putih Sejati
Tentu saja, ini bukan semata-mata karena ikan selalu berada di dalam air seumur hidupnya. Daging ikan memiliki pembawaan yang berbeda dari daging kebanyakan makhluk berjalan, melata, dan terbang karena beberapa alasan.
Yang pertama, berenang dalam air mungkin bukan kegiatan binaraga yang selalu berat buat ikan, setidaknya dibanding kuda dan rusa yang harus berpacu di padang rumput atau burung yang harus mengepak-mepak sayap terus menerus di udara. Ini sebabnya otot-otot ikan tidak seberkembang otot-otot hewan lain. Gajah, misalnya, harus bekerja keras melawan gravitasi bahkan ketika hanya ingin melangkah, maka otot-otot mereka sangat berkembang dan keras. Akibatnya, kita harus memasak dalam suhu di bawah temperatur didih lama sekali agar menjadi lunak.
Tapi, yang lebih penting adalah kenyataan bahwa ikan memiliki jaringan otot yang secara mendasar memang berbeda dari kebanyakan hewan darat. Untuk melesat kabur dari musuh-musuhnya, ikan memerlukan gerak menyentak yang sangat bertenaga, dibanding gerak tidak menyentak namun berjangka waktu lama seperti pada satwa lain ketika sedang berlari. Maka, otot-otot ikan terutama terbentuk dari serat-serat yang dapat berkontraksi dengan cepat. Otot umumnya terbentuk dari berkas-berkas serat. Otot-otot ini lebih pendek dan lebih tipis dibanding serat-serat besar untuk kontraksi lambat pada otot-otot satwa darat, dan karena itu lebih mudah dikoyak, misalnya ketika dikunyah, atau diuraikan secara kimiawi, ketika dimasak. Ikan bahkan cukup lunak untuk dimakan mentah-mentah, seperti pada masakan sashimi, tetapi steak ala tartar harus ditumbuk dahulu supaya dapat dikunyah oleh kebanyakan satwa pemakan daging.
Satu alasan penting lain mengapa ikan lebih lunak daripada satwa lain adalah karena mereka hidup dalam lingkungan yang pada dasarnya tanpa berat. Oleh sebab itu mereka tidak terlalu memerlukan jaringan pengikat-tulang rawan, tendon, ligamen, dan sebagainya yang diperlukan oleh kebanyakan makhluk lain untuk menyangga berbagai bagian tubuh dan mempersatukan semuanya dengan rerangka utama. Maka ikan praktis seluruhnya terdiri atas otot, tanpa jaringan-jaringan liat yang sulit diuraikan.
Karena semua tadi, daging ikan begitu lunak sehingga masalah pokok kita adalah menjaga agar tidak memasaknya terlalu lama. Kita hanya memasaknya hanya sampai semua proteinnya menggumpal dan berwarna pekat, sama yang terjadi pada protein dalam putih telur. Daging tadi akan menjadi liat dan kering jika memasaknya terlalu lama.
Lalu mengapa daging ikan berwarna putih? Darah ikan tidak begitu banyak, dan yang sedikit itu pun sebagian besar terpusat dalam insang. Ketika hewan sial ini akhirnya terhidang di meja makan, hampir semua darahnya hilang tercuci. Mudahnya mencuci darah dari daging ikan sekali lagi terkait dengan aktivitas otot yang berbeda pada bangsa ikan. Karena dirancang hanya untuk kontraksi-kontraksi cepat dan singkat, otot ikan tidak memerlukan cadangan oksigen seperti pada otot-otot hewan darat yang memerlukan stamina untuk kegiatan mereka. Sebagaimana kita ketahui, otot-otot kontraksi lambat pada hewan darat harus menyimpan oksigen dalam bentuk mioglobin, sebuah senyawa merah yang berubah menjadi coklat ketika terkena udara atau panas. Mioglobin inilah, bukan darah, yang membuat daging merah berwarna merah. Readmore »»
Rabu, 18 November 2009
Kebudayaan Indonesia dapat didefinisikan sebagai seluruh kebudayaan lokal yang telah ada sebelum bentuknya nasional Indonesia pada tahun 1945. Seluruh kebudayaan lokal yang berasal dari kebudayaan beraneka ragam suku-suku di Indonesia merupakan bagian integral daripada kebudayaan Indonesia.
Kebudayaan Indonesia walau beraneka ragam, namun pada dasarnya terbentuk dan dipengaruhi oleh kebudayaan besar lainnya seperti kebudayaan Tionghoa, kebudayaan India dan kebudayaan Arab. Kebudayaan India terutama masuk dari penyebaran agama Hindu dan Buddha di Nusantara jauh sebelum Indonesia terbentuk. Kerajaan-kerajaan yang bernafaskan agama Hindu dan Budha sempat mendominasi Nusantara pada abad ke-5 Masehi ditandai dengan berdirinya kerajaan tertua di Nusantara, Kutai, sampai pada penghujung abad ke-15 Masehi.
Kebudayaan Tionghoa masuk dan mempengaruhi kebudayaan Indonesia karena interaksi perdagangan yang intensif antara pedagang-pedagang Tionghoa dan Nusantara (Sriwijaya). Selain itu, banyak pula yang masuk bersama perantau-perantau Tionghoa yang datang dari daerah selatan Tiongkok dan menetap di Nusantara. Mereka menetap dan menikahi penduduk lokal menghasilkan perpaduan kebudayaan Tionghoa dan lokal yang unik. Kebudayaan seperti inilah yang kemudian menjadi salah satu akar daripada kebudayaan lokal modern di Indonesia semisal kebudayaan Jawa dan Betawi.
Kebudayaan Arab masuk bersama dengan penyebaran agama Islam oleh pedagang-pedagang Arab yang singgah di Nusantara dalam perjalanan mereka menuju Tiongkok.
Kedatangan penjelajah dari Eropa sejak abad ke-16 ke Nusantara, dan penjajahan yang berlangsung selanjutnya, membawa berbagai bentuk kebudayaan Barat dan membentuk kebudayaan Indonesia modern sebagaimana yang dapat dijumpai sekarang. Teknologi, sistem organisasi dan politik, sistem sosial, berbagai elemen budaya seperti boga, busana, perekonomian, dan sebagainya, banyak mengadopsi kebudayaan Barat yang lambat-laun terintegrasi dalam masyarakat.
Readmore »»